Rabu, 28 Juli 2010

Perjalananku Menuju Patia

Hari keberangkatanku ke Patia tanggal 13 Juni 2010 pukul 10:00 pagi. Aku berangkat dengan mengendarai motor beat warna merah, berdua dengan diantar teman. Jujur saja, aku belum pernah ke sana. Hanya tahu namanya saja. Arah jalan yang kami ambil adalah Desa Pagelaran dan dari situ lurus saja selama kurang lebih satu setengah jam. Karena mengendarai motor dengan santai dan sering juga berhenti maka lama perjalanan memakan waktu 2 jam.
Jalan Desa Pagelaran masih lumayan bagus, melewati lapangan kecamatan dan pasar. Ada satu kejadian yang menarik sepanjang perjalanan dan jadi bahan tertawaan. Plat nomor motorku yang belakang ternyata lepas sebelah tapi untunglah ada yang memberitahu, seorang supir mobil, dengan bicara bahasa Sunda yang agak kampungan. Aku juga baru dengar ..... agak lucu.
Kami terus menelusuri jalan dan rumah-rumah penduduk masih tampak jarang. Kemudian kami melewati persawahan dan jembatan yang di bawahnya mengalir Sungai Cilemer. Makin jauh perjalanan ke sana makin banyak persawahan dan akhirnya sampailah di Desa Surianeun. Perjalanan mulai terasa berat karena kondisi jalan rusak meskipun ada sebagian kecil yang sudah dikeraskan dengan semen cor.
Dari situ perjalanan mulai lambat. Mengendarai motor harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati karena hari kemarin baru saja turun hujan. Jalan-jalan becek dan licin belum lagi batu-batu besar yang bertebaran di sana sini. Motorku tidak lagi kelihatan cantik akibat mandi lumpur. Akhirnya sampailah di Desa Dungusaur dan perjalanan tidak bisa lagi dilanjutkan dengan motor beat. Motor dititipkan di rumah penduduk. Perjalanan ke sekolah yang dituju sekitar satu setengah kilometer lagi.
Kami mulai jalan kaki. Udara cerah dan terasa sangat panas. Sepanjang perjalanan yang terlihat hanyalah sawah dan sedikit sekali pohon-pohon.
Mayoritas penduduknya berbahasa Jawa-Banten dan sebagiannya berbahasa Sunda kasar. Jumlah penduduknya lumayan banyak. Menurut informasi yang kuperoleh terdapat kurang lebih 2000 jiwa lebih. Perilaku penduduk Dungusaur tampaknya cukup sopan karena sepanjang perjalanan banyak yang bertanya dan mempersilakan mampir. Kakiku mulai terasa pegal-pegal dan makin lama makin sakit. Ketika kulihat, telapak dan jari kakiku memar dan lecet-lecet akibat lamanya jalan kaki dan menahan pijakan pada batu-batu.
Terpaksa sepatu kujinjing. Banyak orang melihat dan merasa kasihan padaku tetapi ada juga yang mentertawakanku. Aku tidak peduli dan sepanjang perjalanan aku bertanya selalu bertanya kepada temanku apakah perjalanan masih lama. Temanku hanya bilang 'sebentar lagi' dan aku sudah mulai lelah, haus, lapar dan mandi keringat.
Pada akhirnya perjalananku sampai di sekolah yang dituju. Aku dan temanku beristirahat di rumah kepala sekolah MTs Patia. Orangnya baik dan banyak hal yang kutanyakan, seperti tentang penduduk, semangat belajar anak-anak, dan lain-lain.
Untuk sementara, aku tinggal di rumah kepala sekolah. Keesokan pagi hari, aku ingin sekali mandi tetapi tidak ada air di kamar mandi karena pompa air sedang rusak. Kebanyakan penduduk mandi di pemandian umum, yang ternyata adalah sebuah sungai yang jaraknya kurang lebih 80 meter jalan kaki. Air sungai masih tampak jernih. Mengikuti kebiasaan penduduk memakai kain yang dibelitkan di badan, aku masih malu-malu berbaur di pemandian umum di sungai, tapi penduduk di sana tampaknya biasa-biasa saja seakan kurang peduli dengan kehadiranku.
Rencananya aku akan mengajar di MTs pada pagi hari dan di SMK pada siang hari. Kegiatanku mungkin akan selalu begitu setiap hari.

Rabu, 21 Juli 2010

Patiaku Sayang Patiaku Malang

Waktu itu tanggal 17 Mei 2010, tepatnya saat UAS kelas 3 MTs kebetulan aku jadi pengawas selama 1 minggu. Pukul 10.00 tepatnya di kantor ruang dewan guru, Kepala Yayasan menghimbau kepada dewan guru agar harus ada beberapa guru yang siap, iklas mengabdikan dirinya memajukan sekolah di sana. Tanpa ditunjuk hatiku merasa tergugah secara tiba-tiba. Saya kurang begitu tahu Patia itu daerah yang seperti apa, tapi hatiku tetap kukuh untuk mengembangkan ilmu di sana.
Patia adalah kecamatan yang terpencil yang masih terbelakang, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, semuanya masih terasa serba kampung dan sederhana. Setelah saya pantau langsung ke sana ternyata sudah ada beberapa sekolah di sana mulai dari SD yang bangunannya sudah cukup bagus, MTs dan SMK IPTEK, bangunan sekolah MTs masih banyak yang harus direnovasi, sedangkan SMK belum mempunyai bangunan yang tetap, masih menumpang ke MTs. Pagi hari bangunan dipakai MTs dari pukul 07:15 hingga 13:00 dan baru pukul 13:30 hingga 17:00 dapat dipakai oleh SMK. Tapi sudah cukup senang karena SMK juga sudah membangun fondasi untuk rencana bangunan.
Menurut kabar yang saya dapat dari penduduk, listrik mulai masuk ke Patia baru sekitar sepuluh tahunan. Itupun kadang kala sering mengalami gangguan. Bantuan perbaikan kadang terlambat karena para petugasnya merasa enggan ke sana karena akses jalan yang rusak.
Perjalanan ke sana menyenangkan tapi satu kendalanya ialah jalan rusak. Jalannya rusak parah dan kalau musim hujan, daerahnya menjadi langganan banjir. Ya, mungin dari permasalahan tadi banyak guru yang merasa enggan untuk ditugaskan ke sana, awal mulanya mereka mau ke sana karena melihat semangat belajar anak-anaknya tinggi, tetapi kemudian semangat para guru menurun kala musim hujan. Dengan demikian semangat pembelajaran terhambat dan anak-anak sekolah kurang mendapat pembelajaran yang selayaknya.