Kamis, 02 September 2010

Tak Dapat Diselamatkan

Pada tanggal 21 Agustus 2010 ada kejadian yang sangat memprihatinkan. Temanku seorang perempuan guru yang tinggal di Kampung Cimoyan Kelurahan Cimoyan akan melahirkan anaknya. Persalinan dibantu oleh seorang bidan desa dan dukun beranak. Peralatan yang digunakan sangat sederhana. Proses persalinan sangat sulit. Bayi yang ditunggu-tunggu tak kunjung keluar sedangkan si ibu sudah mulai kelelahan dan air ketuban sudah pecah. Akhirnya diputuskan untuk membawa Ibu tersebut ke rumah sakit Pandeglang.
Suatu perjalanan yang panjang dan menyakitkan membawa perempuan yang akan melahirkan dari Kampung Cimoyan ke kota Pandeglang. Kampung Cimoyan itu sendiri berjarak kurang lebih 5 kilometer dari Patia. Kondisi jalan rusak parah. Untuk mencapai Patia harus menyebrangi sebuah sungai dengan sebuah sampan. Maka dikerahkan 30 orang laki-laki untuk menyebrangkan sampan yang ditumpangi perempuan yang sedang dalam proses persalinan. Para lelaki itu secara bergantian menggotong sampan untuk sampai menyebrangi sungai. Dibutuhkan waktu 2 jam untuk sampai di Patia. Perempuan itu kemudian dipindahkan ke mobil untuk dibawa ke Pandeglang. Perjalanan ke Pandeglang membutuhkan waktu 4 jam. Perempuan itu sudah tampak pucat pasi dan sudah tak sadarkan diri.
Setiba di Rumah Sakit Pandeglang, impus diganti dengan penambah darah yang berisi cairan agak merah. Temanku itu sudah tak berdaya. Setelah di USG ternyata bayi itu sudah meninggal. Keputusan dokter adalah melakukan operasi sesar untuk menyelamatkan ibunya dan akan dilaksanakan keesokan hari.
Pukul 10 pagi operasi sesar dilaksanakan. Bayi perempuan yang cantik, bersih dan tampak sehat telah dikeluarkan dari perut ibunya. Beratnya 3.6 kg. Sayang, sosok bayi itu tak bergerak untuk selama-lamanya. Ibu bayi tak sadarkan diri selama 4 jam karena kaget anaknya telah tiada.
Pelayanan kesehatan di Cimoyan sangat minim dan belum mendapatkan perhatian yang sepatutnya. Puskesmas sederhana tersedia tetapi tidak ada dokter yang bertugas dan fasilitas rawat inap. Keterampilan bidan desa dan kemampuan dukun beranak sangat perlu ditingkatkan. Bidan desa atau dukun beranak harus mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang kritis.

Rabu, 01 September 2010

Kabar Gembira

Pagi hari aku mengajar di MTs Surianeun meskipun badan terasa kurang enak, badan terasa panas dan sakit semua. Tetapi Aku tahan demi anak-anak. Aku tidak tega melihat murid-murid tidak belajar dan berkeliaran di luar kelas.
Pagi itu juga Aku bersama seorang teman pergi ke Patia dengan sepeda motor. Tiba di daerah yang banyak pesawahan, aku melihat sebuah mobil kijang berhenti karena terjebak di kubangan lumpur. Mobil itu tidak bisa bergerak mundur apalagi maju. Terlihat 4 orang turun dari mobil dan kebingungan mencari cara agar mobil mereka bisa berjalan kembali. Aku menghampiri, ternyata mereka adalah wartawan dari media Kompas, yang datang ke sana untuk melihat keadaan jalan dan memberi kabar pada penduduk bahwa jalan akan segera dibangun di bulan September ini. Penduduk amat sedang mendengar kabar itu dan mereka memberi bantuan bergotong royong mendorong mobil agar mobil bisa melaju kembali. Para wartawan menelusuri jalan dan berhenti di kantor Kecamatan.
Ternyata Aku juga mendengar kabar yang sama dari Pak Lurah tentang rencana perbaikan jalan. Aku merasa senang karena itulah harapan ku dan penduduk Patia yang telah lama menunggu perbaikan jalan. Mudah-mudahan ini menjadi langkah awal bagi Kecamatan Patia untuk lebih maju dan terlepas dari ketertinggalan.

Selasa, 31 Agustus 2010

Tugas Mengajar di Bulan Ramadhan

Tanggal 12 Agustus 2010 malam hari pukul 20:00 aku tiba di Surianeun, karena sehari sebelumnya aku diberitahu akan ada rapat. Seperti biasa, mulai pukul 8 pagi aku mengajar dulu di kelas dan rapat baru dimulai pukul 13:30. Rapat ternyata membicarakan penugasan kepadaku untuk mengajar satu bulan penuh mulai hari senin hingga sabtu di MTs Surianeun dan SMK Patia. Kepala Sekolah langsung membuat surat keputusan tugas mengajar selama 1 bulan. Aku tak dapat menolak karena ada 2 orang guru yang mengundurkan diri.
Perjalanan dari Surianeun ke Patia tidak dapat menggunakan sepeda motor karena kondisi jalannya yang tidak memungkinkan. Aku tinggal di Surianeun sehingga harus melakukan perjalanan pulang pergi ke kedua tempat itu. Setiap hari menempuh perjalanan yang jauh, tetapi aku tidak pernah mengeluh dan putus asa meskin panas cukup menyengat dan udara musim panas yang berdebu. Akhir-akhir ini masih sering turun hujan dan cuaca tidak menentu. banyak kubungan lumpur di jalan, bebatuan yang licin bahkan genangan air. Salah-salah langkah aku bisa terpeleset dan berkubang di lumpur yang kotor itu. Aku tidak patah semangat dan tetap mengajar karena kebahagiaan anak didik juga merupakan kebahagiaanku.
Senin tanggal 16 Agustus jadwal mengajar di SMK Patia mulai pukul 13:30 s/d 17:00. Berangkat dari Surianeun naik ojeg ke Patia hanya sampai di Desa Dungusaur. Ongkosnya 4000 rupiah, dari situ berjalan kaki ke sekolah SMK yang jaraknya 4 KM. Panas matahari terasa menyengat karena musim kemarau. Aku sudah mulai terbiasa berjalan di terik matahari di jalan yang rusak dan melewati pesawahan yang gersang. Setiba di sana keringat bercucuran dan tenggorokan terasa kering. Jam pertama aku mengajar mata pelajaran Kimia di kelas 1 yang jumlah muridnya 28 orang. Murid-murid ternyata belum mengenal mata pelajaran ilmu kimia. Aku merasa kasihan karena di sekolah-sekolah lain sudah diajarkan mata pelajaran tersebut, tetapi di sini mereka baru mengenal ilmu kimia.
Murid-murid menggunakan bahasa Jawa-banten. Aku tidak mengenal bahasa Jawa-banten. Untuk komunikasi dengan murid-murid aku menggunakan bahasa Indonesia. Hari itu aku pulang kesorean sekitar pukul 17:30. Perjalanan balik ke Surianeun dengan berjalan kaki. Cukup melelahkan. Ketika sudah masuk waktu berbuka puasa aku masih di jalan di antara pesawahan. Aku tidak membawa sedikitpun makanan dan minuman untuk membatalkan puasa. Tiba di Dungusaur aku membeli minuman alakadarnya di sebuah warung kecil. Tidak ada makanan yang tersedia. Pemilik warung memberiku 4 potong kue untuk teman minum. 2 potong aku habiskan, kemudian aku bergegas melanjutkan perjalanan pulang melewati kampung, mesjid dan kebun-kebun. Melewati jembatan sungai Cilemer dan pesawahan. Sampai di mesjid Surianeun aku berhenti untuk melaksanakan sholat magrib. Selesai mengambil air wudlu dan hendak masuk ke mesjid, seorang laki-laki menghampiri dan memberitahu bahwa perlengkapan sholat sudah usang dan tidak layak pakai, sobek dan berlubang. Bapak itu mengajakku ke rumah ibu Hajah Iyoh, yang rumahnya tepat di sebelah mesjid. Setelah selesai sholat bertanya darimana dan mau kemana tujuan ku. Ia juga menawarkanku makan bersama. Sambil tersenyum aku menjelaskan bahwa saya baru pulang mengajar dan terlambat pulang. Karena sudah malam, tidak ada jasa ojek dan terpaksa aku pulang berjalan kaki dan tiba di rumah pukul 20:20. Aku langsung mandi, sholat isya dan istirahat.

Selasa, 10 Agustus 2010

Kebanjiran

Senin siang 26 Juli 2010 aku mengalami perasaan yang tidak enak. Hati ku bertanya-tanya apa yang akan terjadi? Pukul 2 siang seseorang mengetuk pintu kontrakanku. Ternyata, setelah dibuka ibu pemilik rumah kontrakan dan mengatakan bahwa aku harus pindah hari ini juga karena rumah kontrakan akan dipakai oleh anaknya yang baru kembali dari Jakarta. Mau apa lagi, akhirnya aku bergegas mengemasi barang-barang dan pindah ke tempat lain. Aku pindah ke rumah kontrakan yang letaknya atau keadaan tanahnya lebih rendah dari rumah kontrakan sebelumnya dan letak rumahnya agak dekat dengan sungai. Bangunan rumah kontrakan merupakan bagian dari rumah pemiliknya yang berbentuk huruf L. Aku menempati bagian paviliunnya. Warna cat tembok sudah suram dan lantainya dari keramik berwarna ungu. Bulu kudukku merinding ketika memasuki rumah itu. Tidak ada pilihan lain aku terpaksa menempati rumah itu.
Malamnya kebetulan malam Nisfu Sya'ban. Hari tutup buku amal perbuatan bagi kaum muslimin. Aku membaca surat Yasin sebanyak 3 kali sementara di luar hujan turun terus menerus sejak pukul 4 sore. Semakin malam, suasananya semakin sepi dan hening sementara gemericik air hujan tak kunjung berhenti. Tiba-tiba listrik mati dan tak lama kemudian air dari luar rumah masuk dari bawah pintu. Tidak terlalu besar tapi aku bergegas keluar mencari tempat atau datarang yang lebih tinggi untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi banjir besar dengan tiba-tiba. Aku mengungsi ke rumah Bapak Aji, seorang guru di sana hingga pukul 4 pagi dan tidak tidur sekejap pun. Kemudian aku kembali ke rumah kontrakan untuk membersihkan bekas banjir.
Pagi sekitar pukul 7 aku berangkat ke Menes untuk tugas mengajar di sana. Walaupun hujan belum berhenti aku memaksakan diri untuk berangkat. Sepanjang jalan terlihat banjir dan air sungai sudah mencapai bibir jembatan. Aku terus mendorong motor di tengah guyuran hujan dan tiba di Desa Babakan hujan pun masih terus tercurah. Aku berhenti dan berteduh sementara bajuku sudah basah kuyup karena tidak membawa jas hujan.
Pukul 8:40 aku tiba di MTs Menes. Teman-teman guru melihatku dengan rasa kasihan karena aku memaksakan diri untuk mengajar. Dengan baju masih basah aku tetap memberikan mata pelajaran kepada murid-muridku.

Rabu, 04 Agustus 2010

Nyamuk-Nyamuk Nakal

Minggu sore aku berangkat ke Surianeun karena paginya aku harus mengajar. Malam senin ini aku tidur di rumah kontrakan yang belum sempat aku rapikan. Ventilasi udara belum dipasangi kawat nyamuk. Sebelum tidur aku coba membaca buku tapi mataku terasa perih dan tidak bisa membaca karena kacamataku rusak. Mau apalagi? Karena tidak ada hiburan, nonton TV misalnya, aku berusaha tidur. Mataku tidak bisa dipejamkan karena gangguan nyamuk-nyamuk yang tidak mau berkompromi dan tidak memberikan kesempatan untuk tidur. Akhirnya, tidurku pun tidak nyenyak.
Pagi itu aku mulai mengajar pukul 07:15 dengan kondisi badan yang kurang fit akibat kurang tidur. Aku mengajar mata pelajaran fisika di kelas 2 dan kelas 3. Pukul 10:00 jam pelajaran selesai, aku segera kembali ke rumah kontrakan dan ingin segera istirahat.
Setelah makan siang mataku mulai mengantuk dan segera tertidur. Pukul 12:30 aku terbangun dan segera mengambil wudhu. Badan terasa lemas. Siang ini aku punya tugas mengajar di SMK Patia mulai pukul 13:30. Badanku terasa lemas sekali dan rasanya tak kuat mengajar. Akhirnya, aku menelpon rekan guru di Patia, Ibu Neng, yang kebetulan isteri kepala SMK. Untunglah, siang itu tidak ada kegiatan belajar mengajar di sekolah karena siswa-siswa sedang mengikuti pelatihan paskibraka. Aku tidak jagi berangkat ke Patia dan bisa istirahat kembali.

MTs Surianeun Memprihatinkan

Banyak keprihatinan yang kudapatkan di MTs Surianeun. Bangunan sekolah sangat sederhana dan terdiri dari 3 lokal. Satu lokal digunakan untuk majelis taklim ibu-ibu dan dua lokal digunakan untuk kelas belajar anak-anak.
Kadang aku merasa sedih melihat mereka belajar dalam 1 ruangan yang digunakan untuk 2 kelas. Konsentrasi belajar siswa sekolah akan terganggu kalau di satu sisi siswa sedang belajar matematika yang membutuhkan keseriusan dan di sisi lainnya siswa sedang belajar fikih kaipatu, solat. Ini tidak dapat disebut sebagai belajar secara efektif.
Keadaan ruang belajar juga cukup memprihatinkan. Ventilasi udara hanya dibuat dari sambungan kawat, lantai semen, dan papan tulis hitam menggunakan kapur tulis. Ruang guru tidak tersedia. Para guru duduk di warung kalau jam pelajaran sudah selesai karena tidak ada tempat lain.
MTs Surianeun adalah cabang dari MTs Patia. MTs Surianeun hanya disebut kelas jauh. Kadang aku merasa kasihan karena sekolah ini tidak mendapatkan perhatian dari sekolah induknya, antara lain untuk biaya operasional sekolah. Murid di sini lumayan banyak. Guru yang mau mengabdikan dirinya tanpa pamrihlah yang amat diperlukan di sini.

Senin, 02 Agustus 2010

Mencari Rumah Kontrakan

Hari Kamis tanggal 22 Juli 2010, aku berangkat dari Menes menuju Surianeun untuk mencari tempat tinggal sementara, rumah kontrakan. Alhamdullilah aku mendapatkan tempat kontrakan yang berupa rumah petak, yang terdiri dari 4 lokal. Setelah aku melihat dan ternyata cocok, langsung saja aku menyatakan setuju mengontrak dan aku membayar 6 bulan di muka. Lokasinya dekat ke jalan, jadi agak berdebu tapi tidak jauh dari tempat aku mengajar.
Kemudian aku pergi ke toko mebel untuk membeli perlengkapan tinggal, seperti kasur busa, bantal dan sebuah lemari pakaian dari plastik. Barang-barang bawaan dan buku-buku yang aku bawa dari Menes aku rapikan.
Aku langsung menempati rumah kontrakan itu. Pada malam hari suasana terasa hening dan yang terdengar hanya suara binatang malam. Udara Surianeun terasa agak panas dan airnya pun kurang enak untuk diminum. Dalam suasana keprihatinan aku berusaha untuk betah tinggal di sini.

Tahun Ajaran Baru 2010

Pada tahun ajaran baru 2010 ini aku mengajar di 3 sekolah dengan pembagian waktu 3 hari di Menes dan 3 hari di Patia dan Surianeun. Mata pelajaran yang aku ajarkan ialah ipa terpadu: kimia, fisika dan biologi. Satu lagi mata pelajaran tambahan mulok, yaitu bahasa Sunda. Untuk mempermudah kelancaran mengajar, aku mencari rumah kontrakan di Desa Surianeun, yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Pagi hari sampai pukul 13:00, aku mengajar di MTs dan pukul 13:00 aku mengajar di SMK Patia. Jarak dari Surianeun ke Patia lumayan jauh, tapi jarak yang jauh itu tidak mematahkan semangatku untuk berjuang sebagai guru.
Pengenalan materi aku sampaikan terlebih dahulu, banyak hal yang menarik yang kudapatkan dari murid-murid. Mereka kebanyakan adalah penduduk asli tempat ini dan ada juga beberapa murid yang datang dari jauh. Cerita mereka untuk sampai ke sekolah penuh suka dan duka. Tapi semangat belajar mereka sangat membanggakan dan tidak kalah dengan murid-murid yang sekolah di daerah yang sudah berkembang. Salah satu kegiatan ekstrakulikulier mereka ialah kegiatan paskibraka, yang selalu terpanggil dalam acara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus.
Ini merupakan pengalaman pertama mengajar dan bertatap muka di tahun ajaran baru di tempat kerja baru, tempat tinggal baru, dan murid-murid yang bertambah banyak. Keadaan di sekolah masih serba sederhana, menulis di papan tulis hitam dan menggunakan kapur tulis. Aku sempat grogi ketika menulis di papan tulis menggunakan kapur tulis. Beberapa kali kapur tulis patah ketika menulis dan jadi bahan tertawaan murid-murid. Maklumlah, terbiasa memakai spidol hitam di papan 'whiteboard'. Di dalam kelas masih ada murid yang memakai sandal dan ketika aku tanyakan, alasannya sederhana 'jalannya becek'.
Tampaknya murid-murid senang belajar tentang sains dan selama ini materi sains belum memiliki guru. Untuk praktek aku menggunakan alat-alat yang seadanya yang tersedia di sana.
Tak terasa waktu pun berlalu dan hari sudah sore, materi untuk tiga kelas sudah aku sampaikan. Kemudian, bergegas pulang. Dari Patia berjalan kaki sampai ke Desa Dungusaur. Dari desa itu aku baru bisa menggunakan sepeda motor menuju Surianeun.
Dari pengalaman tersebut aku berpikir kembali dan menanamkan dalam hatiku bahwa banyak murid yang membutuhkan guru meskipun mereka masih hidup dalam suasana keterbatasan dan ketertinggalan.
Semakin kuat tekadku untuk terus mengajar dengan benar dan niat yang ikhlas di kedua tempat ini. Semoga apa yang aku lakukan mendapatkan barokah dari Allah s.w.t. Amien.

Rabu, 28 Juli 2010

Perjalananku Menuju Patia

Hari keberangkatanku ke Patia tanggal 13 Juni 2010 pukul 10:00 pagi. Aku berangkat dengan mengendarai motor beat warna merah, berdua dengan diantar teman. Jujur saja, aku belum pernah ke sana. Hanya tahu namanya saja. Arah jalan yang kami ambil adalah Desa Pagelaran dan dari situ lurus saja selama kurang lebih satu setengah jam. Karena mengendarai motor dengan santai dan sering juga berhenti maka lama perjalanan memakan waktu 2 jam.
Jalan Desa Pagelaran masih lumayan bagus, melewati lapangan kecamatan dan pasar. Ada satu kejadian yang menarik sepanjang perjalanan dan jadi bahan tertawaan. Plat nomor motorku yang belakang ternyata lepas sebelah tapi untunglah ada yang memberitahu, seorang supir mobil, dengan bicara bahasa Sunda yang agak kampungan. Aku juga baru dengar ..... agak lucu.
Kami terus menelusuri jalan dan rumah-rumah penduduk masih tampak jarang. Kemudian kami melewati persawahan dan jembatan yang di bawahnya mengalir Sungai Cilemer. Makin jauh perjalanan ke sana makin banyak persawahan dan akhirnya sampailah di Desa Surianeun. Perjalanan mulai terasa berat karena kondisi jalan rusak meskipun ada sebagian kecil yang sudah dikeraskan dengan semen cor.
Dari situ perjalanan mulai lambat. Mengendarai motor harus pelan-pelan dan ekstra hati-hati karena hari kemarin baru saja turun hujan. Jalan-jalan becek dan licin belum lagi batu-batu besar yang bertebaran di sana sini. Motorku tidak lagi kelihatan cantik akibat mandi lumpur. Akhirnya sampailah di Desa Dungusaur dan perjalanan tidak bisa lagi dilanjutkan dengan motor beat. Motor dititipkan di rumah penduduk. Perjalanan ke sekolah yang dituju sekitar satu setengah kilometer lagi.
Kami mulai jalan kaki. Udara cerah dan terasa sangat panas. Sepanjang perjalanan yang terlihat hanyalah sawah dan sedikit sekali pohon-pohon.
Mayoritas penduduknya berbahasa Jawa-Banten dan sebagiannya berbahasa Sunda kasar. Jumlah penduduknya lumayan banyak. Menurut informasi yang kuperoleh terdapat kurang lebih 2000 jiwa lebih. Perilaku penduduk Dungusaur tampaknya cukup sopan karena sepanjang perjalanan banyak yang bertanya dan mempersilakan mampir. Kakiku mulai terasa pegal-pegal dan makin lama makin sakit. Ketika kulihat, telapak dan jari kakiku memar dan lecet-lecet akibat lamanya jalan kaki dan menahan pijakan pada batu-batu.
Terpaksa sepatu kujinjing. Banyak orang melihat dan merasa kasihan padaku tetapi ada juga yang mentertawakanku. Aku tidak peduli dan sepanjang perjalanan aku bertanya selalu bertanya kepada temanku apakah perjalanan masih lama. Temanku hanya bilang 'sebentar lagi' dan aku sudah mulai lelah, haus, lapar dan mandi keringat.
Pada akhirnya perjalananku sampai di sekolah yang dituju. Aku dan temanku beristirahat di rumah kepala sekolah MTs Patia. Orangnya baik dan banyak hal yang kutanyakan, seperti tentang penduduk, semangat belajar anak-anak, dan lain-lain.
Untuk sementara, aku tinggal di rumah kepala sekolah. Keesokan pagi hari, aku ingin sekali mandi tetapi tidak ada air di kamar mandi karena pompa air sedang rusak. Kebanyakan penduduk mandi di pemandian umum, yang ternyata adalah sebuah sungai yang jaraknya kurang lebih 80 meter jalan kaki. Air sungai masih tampak jernih. Mengikuti kebiasaan penduduk memakai kain yang dibelitkan di badan, aku masih malu-malu berbaur di pemandian umum di sungai, tapi penduduk di sana tampaknya biasa-biasa saja seakan kurang peduli dengan kehadiranku.
Rencananya aku akan mengajar di MTs pada pagi hari dan di SMK pada siang hari. Kegiatanku mungkin akan selalu begitu setiap hari.

Rabu, 21 Juli 2010

Patiaku Sayang Patiaku Malang

Waktu itu tanggal 17 Mei 2010, tepatnya saat UAS kelas 3 MTs kebetulan aku jadi pengawas selama 1 minggu. Pukul 10.00 tepatnya di kantor ruang dewan guru, Kepala Yayasan menghimbau kepada dewan guru agar harus ada beberapa guru yang siap, iklas mengabdikan dirinya memajukan sekolah di sana. Tanpa ditunjuk hatiku merasa tergugah secara tiba-tiba. Saya kurang begitu tahu Patia itu daerah yang seperti apa, tapi hatiku tetap kukuh untuk mengembangkan ilmu di sana.
Patia adalah kecamatan yang terpencil yang masih terbelakang, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, semuanya masih terasa serba kampung dan sederhana. Setelah saya pantau langsung ke sana ternyata sudah ada beberapa sekolah di sana mulai dari SD yang bangunannya sudah cukup bagus, MTs dan SMK IPTEK, bangunan sekolah MTs masih banyak yang harus direnovasi, sedangkan SMK belum mempunyai bangunan yang tetap, masih menumpang ke MTs. Pagi hari bangunan dipakai MTs dari pukul 07:15 hingga 13:00 dan baru pukul 13:30 hingga 17:00 dapat dipakai oleh SMK. Tapi sudah cukup senang karena SMK juga sudah membangun fondasi untuk rencana bangunan.
Menurut kabar yang saya dapat dari penduduk, listrik mulai masuk ke Patia baru sekitar sepuluh tahunan. Itupun kadang kala sering mengalami gangguan. Bantuan perbaikan kadang terlambat karena para petugasnya merasa enggan ke sana karena akses jalan yang rusak.
Perjalanan ke sana menyenangkan tapi satu kendalanya ialah jalan rusak. Jalannya rusak parah dan kalau musim hujan, daerahnya menjadi langganan banjir. Ya, mungin dari permasalahan tadi banyak guru yang merasa enggan untuk ditugaskan ke sana, awal mulanya mereka mau ke sana karena melihat semangat belajar anak-anaknya tinggi, tetapi kemudian semangat para guru menurun kala musim hujan. Dengan demikian semangat pembelajaran terhambat dan anak-anak sekolah kurang mendapat pembelajaran yang selayaknya.