Selasa, 31 Agustus 2010

Tugas Mengajar di Bulan Ramadhan

Tanggal 12 Agustus 2010 malam hari pukul 20:00 aku tiba di Surianeun, karena sehari sebelumnya aku diberitahu akan ada rapat. Seperti biasa, mulai pukul 8 pagi aku mengajar dulu di kelas dan rapat baru dimulai pukul 13:30. Rapat ternyata membicarakan penugasan kepadaku untuk mengajar satu bulan penuh mulai hari senin hingga sabtu di MTs Surianeun dan SMK Patia. Kepala Sekolah langsung membuat surat keputusan tugas mengajar selama 1 bulan. Aku tak dapat menolak karena ada 2 orang guru yang mengundurkan diri.
Perjalanan dari Surianeun ke Patia tidak dapat menggunakan sepeda motor karena kondisi jalannya yang tidak memungkinkan. Aku tinggal di Surianeun sehingga harus melakukan perjalanan pulang pergi ke kedua tempat itu. Setiap hari menempuh perjalanan yang jauh, tetapi aku tidak pernah mengeluh dan putus asa meskin panas cukup menyengat dan udara musim panas yang berdebu. Akhir-akhir ini masih sering turun hujan dan cuaca tidak menentu. banyak kubungan lumpur di jalan, bebatuan yang licin bahkan genangan air. Salah-salah langkah aku bisa terpeleset dan berkubang di lumpur yang kotor itu. Aku tidak patah semangat dan tetap mengajar karena kebahagiaan anak didik juga merupakan kebahagiaanku.
Senin tanggal 16 Agustus jadwal mengajar di SMK Patia mulai pukul 13:30 s/d 17:00. Berangkat dari Surianeun naik ojeg ke Patia hanya sampai di Desa Dungusaur. Ongkosnya 4000 rupiah, dari situ berjalan kaki ke sekolah SMK yang jaraknya 4 KM. Panas matahari terasa menyengat karena musim kemarau. Aku sudah mulai terbiasa berjalan di terik matahari di jalan yang rusak dan melewati pesawahan yang gersang. Setiba di sana keringat bercucuran dan tenggorokan terasa kering. Jam pertama aku mengajar mata pelajaran Kimia di kelas 1 yang jumlah muridnya 28 orang. Murid-murid ternyata belum mengenal mata pelajaran ilmu kimia. Aku merasa kasihan karena di sekolah-sekolah lain sudah diajarkan mata pelajaran tersebut, tetapi di sini mereka baru mengenal ilmu kimia.
Murid-murid menggunakan bahasa Jawa-banten. Aku tidak mengenal bahasa Jawa-banten. Untuk komunikasi dengan murid-murid aku menggunakan bahasa Indonesia. Hari itu aku pulang kesorean sekitar pukul 17:30. Perjalanan balik ke Surianeun dengan berjalan kaki. Cukup melelahkan. Ketika sudah masuk waktu berbuka puasa aku masih di jalan di antara pesawahan. Aku tidak membawa sedikitpun makanan dan minuman untuk membatalkan puasa. Tiba di Dungusaur aku membeli minuman alakadarnya di sebuah warung kecil. Tidak ada makanan yang tersedia. Pemilik warung memberiku 4 potong kue untuk teman minum. 2 potong aku habiskan, kemudian aku bergegas melanjutkan perjalanan pulang melewati kampung, mesjid dan kebun-kebun. Melewati jembatan sungai Cilemer dan pesawahan. Sampai di mesjid Surianeun aku berhenti untuk melaksanakan sholat magrib. Selesai mengambil air wudlu dan hendak masuk ke mesjid, seorang laki-laki menghampiri dan memberitahu bahwa perlengkapan sholat sudah usang dan tidak layak pakai, sobek dan berlubang. Bapak itu mengajakku ke rumah ibu Hajah Iyoh, yang rumahnya tepat di sebelah mesjid. Setelah selesai sholat bertanya darimana dan mau kemana tujuan ku. Ia juga menawarkanku makan bersama. Sambil tersenyum aku menjelaskan bahwa saya baru pulang mengajar dan terlambat pulang. Karena sudah malam, tidak ada jasa ojek dan terpaksa aku pulang berjalan kaki dan tiba di rumah pukul 20:20. Aku langsung mandi, sholat isya dan istirahat.

Selasa, 10 Agustus 2010

Kebanjiran

Senin siang 26 Juli 2010 aku mengalami perasaan yang tidak enak. Hati ku bertanya-tanya apa yang akan terjadi? Pukul 2 siang seseorang mengetuk pintu kontrakanku. Ternyata, setelah dibuka ibu pemilik rumah kontrakan dan mengatakan bahwa aku harus pindah hari ini juga karena rumah kontrakan akan dipakai oleh anaknya yang baru kembali dari Jakarta. Mau apa lagi, akhirnya aku bergegas mengemasi barang-barang dan pindah ke tempat lain. Aku pindah ke rumah kontrakan yang letaknya atau keadaan tanahnya lebih rendah dari rumah kontrakan sebelumnya dan letak rumahnya agak dekat dengan sungai. Bangunan rumah kontrakan merupakan bagian dari rumah pemiliknya yang berbentuk huruf L. Aku menempati bagian paviliunnya. Warna cat tembok sudah suram dan lantainya dari keramik berwarna ungu. Bulu kudukku merinding ketika memasuki rumah itu. Tidak ada pilihan lain aku terpaksa menempati rumah itu.
Malamnya kebetulan malam Nisfu Sya'ban. Hari tutup buku amal perbuatan bagi kaum muslimin. Aku membaca surat Yasin sebanyak 3 kali sementara di luar hujan turun terus menerus sejak pukul 4 sore. Semakin malam, suasananya semakin sepi dan hening sementara gemericik air hujan tak kunjung berhenti. Tiba-tiba listrik mati dan tak lama kemudian air dari luar rumah masuk dari bawah pintu. Tidak terlalu besar tapi aku bergegas keluar mencari tempat atau datarang yang lebih tinggi untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi banjir besar dengan tiba-tiba. Aku mengungsi ke rumah Bapak Aji, seorang guru di sana hingga pukul 4 pagi dan tidak tidur sekejap pun. Kemudian aku kembali ke rumah kontrakan untuk membersihkan bekas banjir.
Pagi sekitar pukul 7 aku berangkat ke Menes untuk tugas mengajar di sana. Walaupun hujan belum berhenti aku memaksakan diri untuk berangkat. Sepanjang jalan terlihat banjir dan air sungai sudah mencapai bibir jembatan. Aku terus mendorong motor di tengah guyuran hujan dan tiba di Desa Babakan hujan pun masih terus tercurah. Aku berhenti dan berteduh sementara bajuku sudah basah kuyup karena tidak membawa jas hujan.
Pukul 8:40 aku tiba di MTs Menes. Teman-teman guru melihatku dengan rasa kasihan karena aku memaksakan diri untuk mengajar. Dengan baju masih basah aku tetap memberikan mata pelajaran kepada murid-muridku.

Rabu, 04 Agustus 2010

Nyamuk-Nyamuk Nakal

Minggu sore aku berangkat ke Surianeun karena paginya aku harus mengajar. Malam senin ini aku tidur di rumah kontrakan yang belum sempat aku rapikan. Ventilasi udara belum dipasangi kawat nyamuk. Sebelum tidur aku coba membaca buku tapi mataku terasa perih dan tidak bisa membaca karena kacamataku rusak. Mau apalagi? Karena tidak ada hiburan, nonton TV misalnya, aku berusaha tidur. Mataku tidak bisa dipejamkan karena gangguan nyamuk-nyamuk yang tidak mau berkompromi dan tidak memberikan kesempatan untuk tidur. Akhirnya, tidurku pun tidak nyenyak.
Pagi itu aku mulai mengajar pukul 07:15 dengan kondisi badan yang kurang fit akibat kurang tidur. Aku mengajar mata pelajaran fisika di kelas 2 dan kelas 3. Pukul 10:00 jam pelajaran selesai, aku segera kembali ke rumah kontrakan dan ingin segera istirahat.
Setelah makan siang mataku mulai mengantuk dan segera tertidur. Pukul 12:30 aku terbangun dan segera mengambil wudhu. Badan terasa lemas. Siang ini aku punya tugas mengajar di SMK Patia mulai pukul 13:30. Badanku terasa lemas sekali dan rasanya tak kuat mengajar. Akhirnya, aku menelpon rekan guru di Patia, Ibu Neng, yang kebetulan isteri kepala SMK. Untunglah, siang itu tidak ada kegiatan belajar mengajar di sekolah karena siswa-siswa sedang mengikuti pelatihan paskibraka. Aku tidak jagi berangkat ke Patia dan bisa istirahat kembali.

MTs Surianeun Memprihatinkan

Banyak keprihatinan yang kudapatkan di MTs Surianeun. Bangunan sekolah sangat sederhana dan terdiri dari 3 lokal. Satu lokal digunakan untuk majelis taklim ibu-ibu dan dua lokal digunakan untuk kelas belajar anak-anak.
Kadang aku merasa sedih melihat mereka belajar dalam 1 ruangan yang digunakan untuk 2 kelas. Konsentrasi belajar siswa sekolah akan terganggu kalau di satu sisi siswa sedang belajar matematika yang membutuhkan keseriusan dan di sisi lainnya siswa sedang belajar fikih kaipatu, solat. Ini tidak dapat disebut sebagai belajar secara efektif.
Keadaan ruang belajar juga cukup memprihatinkan. Ventilasi udara hanya dibuat dari sambungan kawat, lantai semen, dan papan tulis hitam menggunakan kapur tulis. Ruang guru tidak tersedia. Para guru duduk di warung kalau jam pelajaran sudah selesai karena tidak ada tempat lain.
MTs Surianeun adalah cabang dari MTs Patia. MTs Surianeun hanya disebut kelas jauh. Kadang aku merasa kasihan karena sekolah ini tidak mendapatkan perhatian dari sekolah induknya, antara lain untuk biaya operasional sekolah. Murid di sini lumayan banyak. Guru yang mau mengabdikan dirinya tanpa pamrihlah yang amat diperlukan di sini.

Senin, 02 Agustus 2010

Mencari Rumah Kontrakan

Hari Kamis tanggal 22 Juli 2010, aku berangkat dari Menes menuju Surianeun untuk mencari tempat tinggal sementara, rumah kontrakan. Alhamdullilah aku mendapatkan tempat kontrakan yang berupa rumah petak, yang terdiri dari 4 lokal. Setelah aku melihat dan ternyata cocok, langsung saja aku menyatakan setuju mengontrak dan aku membayar 6 bulan di muka. Lokasinya dekat ke jalan, jadi agak berdebu tapi tidak jauh dari tempat aku mengajar.
Kemudian aku pergi ke toko mebel untuk membeli perlengkapan tinggal, seperti kasur busa, bantal dan sebuah lemari pakaian dari plastik. Barang-barang bawaan dan buku-buku yang aku bawa dari Menes aku rapikan.
Aku langsung menempati rumah kontrakan itu. Pada malam hari suasana terasa hening dan yang terdengar hanya suara binatang malam. Udara Surianeun terasa agak panas dan airnya pun kurang enak untuk diminum. Dalam suasana keprihatinan aku berusaha untuk betah tinggal di sini.

Tahun Ajaran Baru 2010

Pada tahun ajaran baru 2010 ini aku mengajar di 3 sekolah dengan pembagian waktu 3 hari di Menes dan 3 hari di Patia dan Surianeun. Mata pelajaran yang aku ajarkan ialah ipa terpadu: kimia, fisika dan biologi. Satu lagi mata pelajaran tambahan mulok, yaitu bahasa Sunda. Untuk mempermudah kelancaran mengajar, aku mencari rumah kontrakan di Desa Surianeun, yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Pagi hari sampai pukul 13:00, aku mengajar di MTs dan pukul 13:00 aku mengajar di SMK Patia. Jarak dari Surianeun ke Patia lumayan jauh, tapi jarak yang jauh itu tidak mematahkan semangatku untuk berjuang sebagai guru.
Pengenalan materi aku sampaikan terlebih dahulu, banyak hal yang menarik yang kudapatkan dari murid-murid. Mereka kebanyakan adalah penduduk asli tempat ini dan ada juga beberapa murid yang datang dari jauh. Cerita mereka untuk sampai ke sekolah penuh suka dan duka. Tapi semangat belajar mereka sangat membanggakan dan tidak kalah dengan murid-murid yang sekolah di daerah yang sudah berkembang. Salah satu kegiatan ekstrakulikulier mereka ialah kegiatan paskibraka, yang selalu terpanggil dalam acara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus.
Ini merupakan pengalaman pertama mengajar dan bertatap muka di tahun ajaran baru di tempat kerja baru, tempat tinggal baru, dan murid-murid yang bertambah banyak. Keadaan di sekolah masih serba sederhana, menulis di papan tulis hitam dan menggunakan kapur tulis. Aku sempat grogi ketika menulis di papan tulis menggunakan kapur tulis. Beberapa kali kapur tulis patah ketika menulis dan jadi bahan tertawaan murid-murid. Maklumlah, terbiasa memakai spidol hitam di papan 'whiteboard'. Di dalam kelas masih ada murid yang memakai sandal dan ketika aku tanyakan, alasannya sederhana 'jalannya becek'.
Tampaknya murid-murid senang belajar tentang sains dan selama ini materi sains belum memiliki guru. Untuk praktek aku menggunakan alat-alat yang seadanya yang tersedia di sana.
Tak terasa waktu pun berlalu dan hari sudah sore, materi untuk tiga kelas sudah aku sampaikan. Kemudian, bergegas pulang. Dari Patia berjalan kaki sampai ke Desa Dungusaur. Dari desa itu aku baru bisa menggunakan sepeda motor menuju Surianeun.
Dari pengalaman tersebut aku berpikir kembali dan menanamkan dalam hatiku bahwa banyak murid yang membutuhkan guru meskipun mereka masih hidup dalam suasana keterbatasan dan ketertinggalan.
Semakin kuat tekadku untuk terus mengajar dengan benar dan niat yang ikhlas di kedua tempat ini. Semoga apa yang aku lakukan mendapatkan barokah dari Allah s.w.t. Amien.